Pasangan itu memutuskan bertamasya ke Inggris untuk merayakan ulang
tahun perkawinan mereka yang ke-25. Keduanya menyukai barang antik,
khususnya cangkir. Dan begitulah, mereka memasuki toko demi toko untuk
menambah koleksi cangkir antik mereka. Dan, ada sebuah cangkir yang
sangat menarik perhatian sang nyonya. Cangkir yang sangat cantik.
“Engkau pasti tak tahu” tiba tiba cangkir di tangannya itu berbisik. “Dulunya aku sama sekali bukan cangkir …”
Agak terkejut dan gugup dia, tapi si nyonya diam saja, ingin mendengar apa yang akan dikatakan cangkir itu lebih lanjut.
“Dulunya warnaku merah. Merahnya tanah liat. Lalu Dia yang empunya
aku mengambilku, menggulungku, menepuk-nepuk dan memukulku
berulang-ulang sampai aku berteriak, ‘Lepaskan aku, lepaskan aku,’
tetapi Dia hanya tersenyum dan berkata: ‘Tahankan dulu, tahankan dulu,
belum waktunya; engkau akan berguna pastinya.”
“Lalu Dia memindahkan aku ke sebuah meja putar. Dengan kakinya tiba
tiba dia memutar meja itu dengan amat kencang, terus, terus dan terus
sampai aku merasa pusing. ‘Hentikan, hentikan, hentikan!’ aku berteriak,
tapi Dia hanya memandangiku dan berkata: ‘Tahankan dulu, tahankan dulu,
belum waktunya; engkau akan berguna pastinya.”
“Akhirnya terbuka juga pintu oven yang panas itu. Aku diletakkannya
pada sebuah rak. Aku mulai merasa nyaman dan dingin. Tapi baru saja
merasakan ademnya udara, aku diangkatnya, Dia menyikatku dengan keras,
lalu dicatnya dan dilukisnya seluruh tubuhku. Bau cat itu sungguh tak
enak. Aku seakan tercekik. ‘Hentikan!’ teriakku. Kali ini aku menangis.
Tapi dia masih dengan tenangnya memandangiku dan berkata: ‘Tahankan
dulu, tahankan dulu, belum waktunya; engkau akan berguna pastinya.”
“Dia lalu mengangkatku lagi. Kukira dia sudah selesai, tapi ternyata
belum. Malahan kini dia memasukkan aku ke dalam oven yang lain dan, ya
ampun, kali ini bahkan dua kali lebih panas dari oven sebelumnya. Dalam
hati aku sudah ingin menyerah saja dan melupakan semuanya: selamat
tinggal dunia!
Tetapi mengingat tujuan Nya yang ingin membuat aku menjadi barang
yang berguna, aku pasrah saja dan bertahan terus. Kupikir, adalah indah
kalau hidupku menjadi berkat bagi sesama, menjadi anugrah bagi dunia.
Pikiran itu membuatku bertambah kuat.
Tiba-tiba pintu oven dibuka. Dia mengangkatku dan meletakkan aku di
rak yang bersih. Lalu Dia mengambil cermin dan berkata, ‘Sekarang
lihatlah dirimu.’ Di kaca aku melihat sesuatu yang indah. ‘Ah, itu pasti
bukan aku. Tak mungkin itu aku. Betapa indahnya. Akukah itu. Aku jadi
cantik sekali sekarang.”
“Lalu Dia menimang-nimang aku sekali lagi dan berkata, ‘Ingatlah. Aku
tahu bagaimana sakitnya digulung, dipukul, dibakar, digosok dan
ditempa, tetapi Aku tak pernah meninggalkanmu hingga engkau menjadi yang
sebaik-baiknya akhirnya. Kini engkau telah menjadi dirimu yang ada di
pikiran Ku sejak Aku mulai membentukmu dahulu.”
Disalin dari buku "Teologi kerja modern & Etos kerja Kristiani" # JansenSinamo