MELAYANI BERSAMA DENGAN HATI
(MEMAHAMI SISTEM PRESBITERIAL SINODAL GPIB)
Pdt P.H.Sitorus, M.Th.
I. PENDAHULUAN
Secara historis istilah “presbiterial sinodal” sebagai sistem penatalayanan gereja pertama kali muncul dalam Tata Gereja di Jemaat Reformasi/Protestan Calvinis di Paris pada tahun 1559. Jadi, istilah “presbiterial sinodal” bukanlah istilah yang diperkenalkan oleh Johanes Calvin sendiri, melainkan diperkenalkan oleh para pengikutnya, tetapi di kemudian hari istilah tersebut selalu dikaitkan dengan Gereja Reformasi beraliran Calvinis. Sistem “presbiterial sinodal” bertolak dari jemaat setempat dan diatur dari bawah ke atas.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) adalah gereja keempat yang dimandirikan pada tanggal 31 Oktober 1948 di lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI, yang dulu bernama De Protestansche Kerk in Nederlandch-Indie, yang dikenal dengan sebutan Indische Kerk). Jadi, GPIB adalah gereja yang berlatar belakang historis Indische Kerk dan gereja dalam konteks Indonesia. Sebagai gereja yang berlatar belakang Indische Kerk, maka GPIB adalah gereja yang berlatar belakang Calvinis. Dan sebagai gereja dalam konteks Indonesia, di mana sila yang keempat dari Pancasila dasar negara ialah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, maka GPIB sudah seharusnya adalah gereja yang dalam pengambilan keputusan selalu mendahulukan musyawarah dan mufakat. Namun demikian, selama masa kolonial Belanda Indische Kerk tidak secara konsekuen ditata menurut tradisi Calvinis, tetapi ia ditata dengan lebih memperhatikan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda, ketimbang memperhatikan kepentingan Gereja. Mengapa pada zaman sebelum kemerdekaan, kepentingan Gereja kurang diperhatikan? Sebab selama masa VOC dan masa Pemerintahan Kolonial
Belanda, baik VOC maupun Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan Gereja hampir-hampir hanya bagian dari sistem pemerintahan sebagai “biro pelayanan kerohanian bagi orang-orang Belanda yang beragama kristen”. Karena semua anggaran gereja berasal dari anggaran pemerintah kolonial Belanda, maka Gereja/Jemaat kurang diperhatikan. Demi kepentingan ekonomi, gereja dilarang untuk memberitakan Injil kepada masyarakat yang beragama lain untuk menghindari terjadinya kekacauan, kerusuhan dan perang yang untuk memulihkannya akan membutuhkan banyak biaya. Pada awalnya GPIB masih mengikuti struktur organisatoris sesuai dengan struktur organisatoris dari Gereja-gereja Calvinis, yaitu: Majelis Sinode, Klasis, dan Jemaat.
Peristiwa yang menentukan perkembangan sistem presbiterial sinodal di GPIB hingga saat ini ialah ketetapan PS IX GPIB 1966 di Jakarta tentang “bentuk pelayanan di GPIB adalah Presbiterial Sinodal” dan ketetapan PS X GPIB 1970 di Bandungan tentang “Pembangunan Jemaat Misioner”. Dalam PSI GPIB 1972 di Jakarta GPIB menetapkan Tata Gereja GPIB 1972, yang di dalamnya ada 2 (dua) hal yang penting yang kaitannya dengan sistem presbiterial sinodal di GPIB, yaitu:
(1). Presbiteriasl Sinodal masuk dalam Tata Gereja GPIB yang tertera dalam Penjelasan Umum Tata Gereja 1972 butir 3.
“Berdasarkan hal yang tersebut pada 2 di atas, berpedoman pada hasil penelitian sehubungaan dengan perkembangan gereja sepanjang sejarah, bentuk pelayanan yang tepat dalam GPIB adalah: Presbiterial – Sinodal, bentuk mana hendaknya nyata dalam Tata Gereja, Ordinansi-ordinansi, dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan GPIB” (Penjelasan Umum Tata Gereja 1972 butir 3).
(2). Sistem Klasis ditiadakan dan diganti dengan Musyawarah Wilayah Pelayanan yang tertera dalam Tata Gereja 1972, Bab III, Pasal 10, ayat 2.
“Beberapa jemaat yang berdekatan dapat mengadakan Musyawarah Pelayanan untuk memusyawarahkan hal-hal yang bersamaan.”
Dengan masuknya asas Presbiterial Sinodal dalam Tata Gereja GPIB, dan dihilangkannya sistem Klasis yang sifatnya struktural lalu diganti dengan sistem MUPEL yang sifatnya fungsional, maka GPIB semakin menegaskan pemahaman dirinya sebagai salah satu Gereja Calvinis yang khas GPIB. Dengan diperkenalkannya Gereja/Jemaat Misioner, maka GPIB memberi peluang bagi pemberdayaan warga jemaat dalam pelaksanan misi gereja/jemaat, walaupun hal itu tidak secara eksplisit tertulis di dalam Tata Gereja GPIB 1972. Baik Tata Gereja GPIB 1982 maupun Tata Gereja GPIB 1996 peranan Warga Jemaat dalam tugas panggilan dan pengutusan Gereja secara ekplisit diakomodasi lewat adanya Pertemuan Warga Sidi Jemaat (PWSJ). Namun PWSJ hanya berfungsi sebatas wadah penyaluran aspirasi warga jemaat, bukan wadah pengambilan keputusan.
Tata gereja GPIB sebelum Tata Gereja GPIB 1972 sangat menekankan peranan para pendeta, sehingga GPIB disebut sebagai ”gereja/jemaat dari para pendeta”. Sedangkan Tata Gereja GPIB sesudah Tata Gereja 1972 s/d Tata Gereja 1996 sangat menekankan peranan presbiter/majelis jemaat, sehingga GPIB disebut sebagai “gereja/jemaat dari para presbiter/majelis jemaat”, karena dalam sistem presbiterial sinodal GPIB disebutkan bahwa para presbiter (pendeta, penatua, dan diaken) yang merancang, menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan gereja/jemaat.
Rupanya penegasan GPIB untuk menerima asas Presbiterial Sinodal yang tanpa penjelasan itu, sebagaimana terdapat di dalam Tata Gereja GPIB 1972, telah menimbulkan bermacam pemahaman di kalangan para presbiter GPIB yang telah mengganggu pelayanan. Oleh sebab itu, dalam PS XIII 1982 di Pandaan, GPIB menetapkan TG GPIB 1982, yang di dalam Tata Dasar-nya terdapat “Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal”. Pemahaman tentang asas Presbiterial Sinodal ini dianggap sangat mendasar bagi GPIB sehingga ia tetap dipertahankan tanpa perubahan di dalam Tata Gereja GPIB 1996 maupun di dalam Tata Gereja GPIB 2010 yang berlaku saat ini. Oleh sebab itu, “Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal” yang ada di dalam Tata Dasar itulah perlu dibaca, diketahui, dipahami, dan dipraktekkan di dalam “berkiprah”di GPIB.
II. DASAR TEOLOGIS SISTEM PRESBITERIAL SINODAL GPIB
Pemahaman Iman (PI) GPIB berfungsi sebagai landasan dan “payung” teologi bagi GPIB. PI GPIB terdiri dari 7 (tujuh) pokok, dan pokok yang kedua adalah tentang GEREJA (yang terdiri pula dari 9 subpokok). Dasar teologis sistem presbiterial GPIB adalah Pemahaman Iman GPIB tentang “Gereja”, khususnya subpokok 4 dan 9, yaitu:
GEREJA
Kami mengaku,
4. Bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan Gereja sebagai tubuh-Nya yang rapi tersusun , dan segala sesuatu di dalamnya harus diselenggarakan secara tertib dan teratur .
9. Bahwa Tuhan yang memanggil dan menetapkan para pelayan-Nya sebagai Presbiter yang berjalan bersama-sama untuk memperlengkapi warga GPIB yang missioner sebagai manusia yang utuh.
Lewat kedua subpokok tentang Gereja di dalam PI GPIB tersebut, maka GPIB mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja, juga Dia adalah Kepala GPIB. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan di gereja – juga di GPIB – adalah kristokrasi, bukan demokrasi.
Apakah makna KRISTOKRASI itu dalam hubungannya dengan penatalayanan gereja? Dalam rangka penatalayanan gereja Kristokrasi memiliki pengertian bahwa seluruh azas dan bentuk pemerintahan Gereja harus berdasarkan karya Kristus Yesus yang memperlihatkan kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya. Seluruh poses pengadaan jabatan Gereja harus bersumber dari kekuasaan Kristus Yesus atas dan di dalam Gereja-Nya. Rasul Yohanes menuliskan ucapan Yesus : ”Akulah yang memilih kamu” (Yoh.15:16), dan Paulus membenarkannya melalui Surat kepada Jemaat di Efesus: ”Ialah yang memberikan...”(Efs.4:11). Oleh karena itu, seluruh Pejabat Gereja harus menjunjung tinggi karunia Allah dan memberdayakannya, dalam arti memfungsikan secara optimal, jabatan itu untuk melayani-bersaksi dalam persekutuan menuju dunia, dalam arti inilah, maka bagi GPIB, perwujudan kristokrasi yang paling sesuai dengan Pemahaman Iman GPIB adalah sistem presbiterial sinodal sebagai terdapat di dalam Tata Gereja GPIB itu sendiri.
III. PEMAHAMAN TENTANG PRESBITERIAL SINODAL GPIB
A. (Naskah) Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal (Lih. TG GPIB 2010: hal. 8-12).
1. Gereja
Gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus sendiri adalah Kepalanya. Oleh karena itu Kuasa yang ada dalam Gereja adalah Kuasa Kristus. Kekuasaan itu mutlak atas Gereja melalui firman-Nya, dan tidak dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang, karena Kristus tetap bekerja. Pemimpin-pemimpin yang dipanggil-Nya adalah orang-orang yang hanya melayani Kristus dengan misi yang ditugaskan kepadanya masing-masing. Karena hanya ada satu, maka gerejapun satu adanya. Yesus yang memimpin Ekklesia itu mengutusnya dengan satu misi (Matius 16:18).
Gereja merupakan kesatuan yang sesungguhnya sejak semula sudah ada dalam diri Yesus Kristus dan bukan kesatuan yang dibentuk atau terjadi oleh kehendak banyak orang. Ini berarti hanya ada satu Gereja yang Kudus dan Am. Dengan demikian kehadiran Gereja itu tampak dalam kehidupan gereja-gereja di berbagai tempat, negara, bangsa dan suku, dan kemudian melembaga sebagai organisasi gerejawi dalam masyarakat (berbentuk badan hukum). Penampakan itu lebih jelas dalam kehidupan jemaat-jemaat, dimana Jemaat –jemat tersebut harus dipahami sebagai bagian yang utuh dari GPIB dan sekaligus merupakan wujud dari gereja yang kudus dan am itu.
2. Hubungan antara Gereja dan Jemaat.
Dari pengertian di atas terlihat adanya hubungan timbal-balik antara Jemaat dan Gereja. Hubungan ini ditandai dengan satu garis dinamis yang tidak dapat dihalangi oleh apa dan siapapun juga. Hubungan ini sekaligus merupakan gerakan yang hidup untuk melaksanakan misi itu.
Ada beberapa prinsip yang dipakai oleh gereja dari masa ke masa untuk menggambarkan hubungan dinamis itu.
Dalam prakteknya kita sebut sistem-sistem pemerintahan gereja:
a. Sistem dan bentuk yang pertama adalah Papal (bahasa latin: Papa= bapa= Paus).
Beberapa ciri khas dari sistem ini adalah:
1). Adanya paham, tongkat kepemimpinan dan kuasa langsung yang diterima dari Kristus. Paus menerima warisan itu sebagai pengganti Kristus.
2). Yang bertindak dalam gereja adalah imam-imam yang jenjang kepemimpinannya diatur/disusun menurut anak-tangga.
3). Paus memiliki kuasa mutlak dan jemaat hanya menerima tindakannya itu.
Hubungan timbal balik terhenti karena garis linier (komando) dari atas ke bawah yang ketat.
b. Sistem dan bentuk yang kedua adalah Episkopal (bahasa Yunani: Penilik, Penunggu, Gembala)
Cirinya antara lain: Setiap Gembala disebut Uskup (akhirnya sekarang jarang dipakai dan kemudian dikenakan kepada pemimpin Gereja saja – Superintenden). Para Uskup/Gembala memegang kepemimpinan Gereja dan mewariskan kuasa itu secara rasuli dan berkesinambungan. Umumnya para Uskup/Gembala memegang kuasa di wilayah/ Provinsi/Jemaatnya di bawah pimpinan Gereja yang disebut Superintenden. Dalam sistem ini, bentuk hirarkis masih tampak tetapi garis linier lemah.
c. Sistem dan bentuk yang ketiga adalah Kongregasional (bahasa Inggris: Congregation = jemaat lokal).
Cirinya antara lain: memberi tekanan (=kedaulatan) kepada eksistensi jemaat-jemaat yang independen (=berdiri sendiri). Bila jemaat mengusahakan kebersamaan dengan jemaat-jemaat lain sehingga terbentuk satu permusyawaratan, maka hal itu terjadi atas kerelaan dan tidak boleh mengurangi kedaulatan masing-masing jemaat. Kebersamaan jemaat-jemaat dapat terjadi tanpa ikatan ketat, yang diurus oleh suatu Sekretariat Bersama.
d. Sistem dan bentuk keempat adalah Presbiterial Sinodal (bahasa Yunani: Presbiter = tua-tua = Penatua; Sun = bersama; hodos = jalan).
Cirinya antara lain: adalah memberikan tekanan kepada peranan para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja. Untuk menentukan arah – kebijaksanaan gereja, kita melakukannya bersama-sama melalui Majelis Jemaat, Persidangan Sinode dan Majelis Sinode. Kebersamaan itu lebih praktis, nampak dalam Kepemimpinan Gereja Jemaat sehari-hari. Sistem ini ingin menghidupkan hubungan timbal balik antara Jemaat (Majelis Jemaat) dengan pimpinan Gereja (Majelis Sinode). Gereja bukan federasi dari jemaat-jemaat, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang dinamis, kaitan yang hidup dan kepentingan timbal-balik untuk melaksanakan misi Kristus.
3.Unsur-unsur penting dari Presbiterial Sinodal
Sistem ini sesungguhnya berasal dari tradisi Calvinis yang sangat mewarnai kehidupan GPIB.
Ada beberapa hal yang sangat menonjol sebagai berikut :
a. Peranan para Presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin Gereja.
1).Para Presbiter mendapat peranan penting.
Dalam Gereja mula-mula, setelah para rasul tidak ada, maka para Penatua (Presbiter) memegang peranan penting dalam mengelola kehidupan gereja.
Jabatan Diaken telah terbentuk segera setelah Pentakosta dan mula-mula sangat berperan bersama para rasul. Dalam perjalanan GPIB, pengertian presbiter telah mengalami tekanan yang sangat berarti di mana yang dimaksud adalah Diaken, Penatua, Pendeta dan Penginjil untuk daerah-daerah Pekabaran Injil / Pelkes. Namun, jabatan Penginjil tidak diadakan lagi, sejak tahun 1992, karena para Penginjil telah dialihkan menjadi Pendeta.
Hal ini tentu bukan saja menyangkut pergeseran pengertian tetapi juga ingin memberikan bobot dan peranan yang lebih luas untuk mengelola kehidupan gereja, sebab pada dasarnya tiap jabatan tersebut mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain untuk menjabarkan pelayanan gereja.
2). Teologi Reformasi menegaskan bahwa panggilan dan pengutusan itu berasal dari dua pihak.
Yang pertama : panggilan batin, oleh kuasa Roh Kudus dalam diri seseorang. Panggilan batin ini menyangkut kesadaran dan kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas dengan kuasa Roh Kudus.
Yang Kedua : panggilan lahir, yaitu seseorang dipanggil dan diutus oleh gereja. Melalui pemilihan oleh warga gereja, Roh Kudus memanggil dan mengurapi seseorang untuk melayani dan memimpin jemaat-Nya.
3). Panggilan lahir inilah yang dilaksanakan oleh Gereja (GPIB) dewasa ini melalui Pemilihan Diaken dan Penatua. Bagi Pendeta yang dipanggil oleh gereja harus melalui pendidikan Teologi dan vikariat.
Melalui proses pemilihan, pendidikan, pembinaan serta pengurapan seseorang diyakinkan akan panggilan batinnya.
Karena itu tidak dapat diartikan bahwa Presbiter, khususnya Diaken dan Penatua, itu menjadi wakil jemaat karena terpilih oleh jemaat hingga ia harus bertanggung jawab (secara organisatoris) kembali kepada jemaat. Secara moral ia terikat pada jemaat karena kepercayaan dan hubungan penggembalan.
Para Presbiter terikat dalam Majelis Jemaat dan bersama-sama melayani dan memimpin jemaat. Kepada badan itu pula para Presbiter mempertanggung jawabkan pelayanan dan kepemimpinannya (secara organisatoris). Demikian selanjutnya pada ruang lingkup berikutnya yaitu Sinodal (Gereja).
b. Pengelolaan secara bersama dan sehidup sepelayanan
Para Presbiter dipanggil dan diutus untuk melayani dan memimpin gereja secara bersama. Kebersamaan itu bukan atas dasar suka rela atau terpaksa, tetapi karena misi Kristus itu yang satu dan mempersatukan Presbiter.
Kebersamaan itu harus terwujud dalam tindakan, yaitu : berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja dan berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam mengisi persekutuan untuk melayani dan bersaksi. Tegasnya, dengan mengakui kebersamaan itu, ikrar untuk sehidup-sepelayanan dalam gereja dihayati.
Perjalanan kebersamaan itu nampak melalui Persidangan-persidangan Sinode yang dihadiri oleh para presbiter dari jemaat-jemaat. Mereka hadir dalam persidangan itu bukan sebagai wakil jemaat, tetapi sebagai presbiter gereja yang menentukan arah kebijaksanaan pelayanan dan kepemimpinan di bawah terang Firman Tuhan (contoh, dipancarkan melalui Tema dan Sub-Tema). Dengan Tema dan Sub-Tema itu perjalanan gereja dicegah dari kesimpang-siuran pemahaman maupun tindakan yang merugikan pelaksanaan panggilan gereja.
Anggota-anggota dari badan itu dipilih dari antara para presbiter yang adalah peserta Persidangan Sinode itu. Sesuai prinsip kebersamaan di mana para presbiter bertanggung jawab kepada lembaga kebersamaan di lingkup Jemaat (Majelis Jemaat) yang bertindak sebagai Pimpinan jemaat, maka kepada Majelis Sinode (lembaga yang secara permanen menggalang kebersamaan) itulah Majelis-Majelis Jemaat yang mempertanggung jawabkan pelayanan dan kepemimpinannya.
Selanjutnya Majelis Sinode itu sendiri mempertanggung jawabkan pelayanan dan kepemimpinannya kepada Persidangan Sinode yang dihadiri oleh presbiter dari jemaat-jemaat.
Sehubungan dengan itu maka pengelolaan secara bersama itu harus selalu terkendali melalui persidangan-persidangan presbiter (lingkup Jemaat dan sinodal). Arah program yang jelas harus ditetapkan melalui persidangan-persidangan untuk diberlakukan bagi seluruh jajaran-pelayanan gereja.
c. Hubungan yang dinamis antara Majelis Jemaat dan Majelis Sinode
Dalam kerangka penjelasan di atas maka hubungan Majelis Jemaat dan Majelis Sinode adalah hubungan yang hidup. Yang terlihat disini bukanlah garis linier atau komando, atasan kepada bawahan, tetapi hubungan timbal balik dimana misi gereja berlangsung dan berkembang.
Jemaat disebut sebagai “jantung” gereja yang berdenyut dan bergerak sedemikian rupa sehingga “darah keselamatan” itu dipancarkan. Lembaga Sinode disebut sebagai “otak” yang berfungsi mengatur semua bagian bergerak bersama dan harmonis, sehingga tubuh gereja berfungsi dengan baik.
Dengan demikian kebersamaan memegang peranan penting dimana kepentingan sendiri-sendiri selalu ditaruh dalam kerangka kebersamaan. Kepentingan persekutuan harus senantiasa mewarnai kepentingan perorangan.
B. Beberapa Catatan penting tentang Sistem Presbiterial yang khas GPIB
1. “Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal” tersebut di atas masuk di dalam Pendahuluan Tata Dasar GPIB 2010, juga dalam Tata Dasar GPIB 1982 dan Tata Dasar GPIB 1996. Apakah konsekuensi teoritisnya dan praktisnya hal tersebut? Baik secara teoritis maupun secara praktis, disadari atau tidak, maka paling tidak hal itu mempunyai 2 (dua) konsekuensi, yaitu:
a. Seluruh jajaran di GPIB harus senantiasa memahami dan melaksanakan semua Bab, Pasal, dan Ayat dalam Tata Gereja GPIB dalam semangat presbiterial sinodal; dan
b. GPIB hendak menegaskan bahwa di seluruh jajarannya GPIB harus melaksanakan tugas panggilan dan pengutusannya di semua baik ditingkat sinodal maupun di tingkat lokal/jemaat, dan juga di tingkat wilayah, dengan semangat “presbiterial sinodal” yang khas GPIB, bukan dengan semangat episkopal atau semangat kongregasional.
2. Kekhasan sistem presbiterial sinodal GPIB nyata dalam hal-hal berikut:
a. Adanya hubungan yang hidup dan dinamis antara Jemaat (Majelis Jemaat) dan Gereja (Majelis Sinode) yang tidak dapat dihalangi oleh apa dan siapapun juga. Sekalipun ada MUPEL, tetapi dalam sistem presbiterial sinodal yang khas GPIB, Mupel tidak struktural. Jemaat disebut sebagai “jantung” gereja yang berdenyut dan bergerak sedemikian rupa sehingga “darah keselamatan” itu dipancarkan. Lembaga sinodal disebut sebagai “otak” yang berfungsi mengatur semua bagian bergerak bersama dan harmonis, sehingga tubuh gereja berfungsi dengan baik.
b. Sistem presbiterial sinodal GPIB, bukanlah sistem Papalisme, Episkopalisme, dan Kongreasionalisme, melainkan sistem penatalayanan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Peranan para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja.
Di dalam sistem ini para presbiter mendapat peranan penting. Seseorang menjadi presbiter (pendeta, penatua, dan diaken) karena mereka dipanggil oleh Tuhan, dan seseorang meyakini panggilan Tuhan ini melalui panggilan lahir dan panggilan batin.
(2) Pengelolaan secara bersama dan sehidup sepelayanan.
(3) Hubungan yang dinamis antara Majelis Jemaat dan Majelis Sinode.
3. GPIB menganut sistem presbiterial sinodal yang khas GPIB tersebut, karena sistem inilah yang diyakini sebagai sistem yang paling sesuai dengan keberadaan GPIB sebagai gereja yang berlatar-belakang Gereja Protestan beraliran Calvinis dan gereja di dalam konteks Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
IV. SISTEM PRESBITERIAL SINODAL DALAM TATA DASAR GPIB 2010.
Di dalam batang tubuh Tata Dasar GPIB, “sistem presbiterial sinodal” terdapat di dalam Bab IV (Penatalayanan Gereja), yang terdiri dari 4 Pasal (Pasal 11: Sistem Penatalayanan, terdiri dari 3 ayat; Pasal 12: Presbiter, terdiri dari 3 ayat; Pasal 13: Sidang Presbiter, terdiri dari 2 ayat; dan Pasal 14: Musyawarah Pelayanan, terdiri dari 3 ayat).
Beberapa hal ditegaskan di dalam Bab IV Tata Dasar ini, yaitu:
1. Dalam sistem presbiterial yang khas GPIB itu, bukan hanya peranan presbiter itu penting, tetapi juga pemberdayaan warga jemaat itu penting (Pasal 11, ayat 3). Mengapa? Sebab, tanggungjawab panggilan dan pengutusan gereja itu adalah tanggungjawab seluruh warga jemaat. Para presbiter itu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa keterlibatan warga jemaat di dalam pelayanan. Jadi, ada pergeseran yang signifikan di dalam sistem presbiterial sinodal GPIB sebagai tertuang dalam Tata Dasar (Bab IV, Pasal 11, Ayat 3) yang memberi peranan warga dalam pelaksanaan panggilan dan pengutusan gereja.
2. Para presbiter (pendeta, penatua, dan diaken) memperlengkapi warga jemaat untuk melaksanakan panggilan dan pengutusannya, dan mereka melaksanakan panggilan dan pengutusan-Nya secara kolekif kolegial (Pasa1 12, ayat 1, 2, dan 3).
3. Wadah pengambilan keputusan tentang pelaksanaan panggilan dan pengutusan Gereja adalah Sidang Presbiter yang terdiri dari: (a) Persidangan Sinode (PS, PSI, dan PST); (b) Sidang Majelis Sinode (SMS); dan (c) Sidang Majelis Jemaat (SMJ).
(Memang di GPIB ada Pelaksana Harian Majelis Jemaat [PHMJ] dan Rapat PHMJ, namun harus ditegaskan bahwa PHMJ hanya dapat mengambil keputusan dalam Rapat PHMJ berdasarkan keputusan Sidang Presbiter, baik di lingkup sinodal maupun di lingkup jemaat. Jika PHMJ harus mengambil suatu keputusan yang mendesak, maka paling tidak PHMJ tidak boleh mengambil keputusan dan kebijakan yang bertentangan dan bertolak belakang dengan Tata Gereja. Mengapa? Sebab PHMJ adalah pelaksana harian Majelis Jemaat, bukan pimpinan dari Majelis Jemaat. Hal ini perlu ditegaskan agar seluruh presbiter [pendeta, penatua, dan diaken] menyadari bahwa PHMJ itu tidak dapat berbuat apa-apa terlepas dari apa yang sudah diputuskan dalam Sidang Presbiter baik di lingkup sinodal maupun di lingkup jemaat. Melaksanakan program kegiatan dan anggaran yang belum ditetapkan dalam Sidang Presbiter, misalnya, tidak sesuai dengan semangat presbiterial sinodal yang dianut oleh GPIB.)
4. Musyawarah pelayanan (MUPEL), sebagai “jembatan dinamis” antara MS dan MJ, dipahami oleh GPIB sebagai bagian dari penatalayanan gereja. Jadi, MUPEL tidak sama dengan Klasis yang struktural itu, karena itu, program MUPEL adalah program tertentu dari Jemaat-Jemaat yang diserahkan kepada MUPEL untuk dilaksanakan bersama-sama di wilayah itu dan program sinodal yang diteruskan oleh MS GPIB untuk dilaksanakan di wilayah itu.
V. PENUTUP
GPIB meyakini bahwa sistem presbiterial sinodal GPIB adalah salah satu sistem penatalayanan yang baik, bahkan bagi GPIB merupakan sistem yang terbaik. Namun demikian, sebaik apapun suatu sistem penatalayanan dari suatu Gereja, pada akhirnya keberhasilan penatalayanan Gereja itu bukanlah ditentukan oleh sistem yang dianutnya, melainkan ditentukan oleh para presbiternya. Sebuah sistem yang baik dijalankan oleh orang jahat, maka sistem itu cenderung akan menjadi jahat, sedangkan sebuah sistem yang jahat sekalipun dijalankan oleh orang baik, maka sistem itu akan cenderung menjadi baik.
Sebuah sistem itu perlu, tetapi jauh lebih penting dari pada suatu sistem ialah orang-orang, dalam konteks GPIB adalah para presbiter. Jika demikian halnya, apakah yang perlu dipahami oleh seluruh presbiter GPIB? Sistem prebiterial sinodal GPIB menekankan kebersamaan dalam melaksanakan panggilan dan pengutusan gereja, dan hal itu akan berhasil jika para presbiter bersama melayani dengan hati, yaitu hati yang dipersembahkan kepada Tuhan yang memanggil dan mengutusnya untuk melayani di dalam Gereja-Nya, dan dengan mengingat sabda Yesus: “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” (Yoh 12:26).