BAHTERA GPIB
PELAYANANNYA DARI MASA KE MASA
< SATU TINJAUAN HISTORIS >
(Pdt. H. Ongirwalu, M.Th.)
Dipersiapkan Sebagai Materi Bina Tahap 1 Diaken dan Penatua GPIB 2012
1. GPIB MENGGEREJA
a. Persiapan kelahiran GPIB di bumi Indonesia cukup singkat. Sidang Sinode Am III . GPI (Mei – Juni 1948) memutuskan tentang pembentukan Gereja ke-4 di wilayah Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang tidak terjangkau oleh GMIM (berdiri 1934), GPM (1935) dan GMIT (1947).
31 Oktober 1948 terwujudlah GPIB dengan 53 Jemaat yang berada dalam 7 klasis. Saat pengresmian di Gereja Immanuel, Merdeka Timur 10, Jakarta, diperkirakan warga GPIB berjumlah 200.000 orang. Tahun 1970 dilaporkan berjumlah 250.000 orang dan tahun 1990 berjumlah 196.921 orang. Terakhir dicatat oleh Majelis Sinode GPIB tahun 2010 bahwa jumlah Jemaat GPIB adalah 301. Dan agaknya belum ada data sensus yang akurat mengenai jumlah warga pada saat ini. Secara kwantitas memang belum ada jumlah yag pasti tetapi Gereja ini telah bertumbuh dan berkembang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman melayani dan menjawab berbagai tantangan.
Sesungguhnya keberadaan jemaat-jemaat yang diwariskan GPI kepada GPIB telah terbentuk sejak masa VOC, ketika J.P.Coen mendirikan Batavia (=Jakarta) 31 Mei 1619 . Pendeta pertama di Jemaat Jakarta adalah Adriaan Jacobs Hulsebos yang diangkat Coen bulan Desember 1619. Ia mengadakan perjamuan kudus pertama dan pembentukan Majelis Jemaat tanggal 3 Januari 1621 (dapat ditetapkan sebagai ulang tahun jemaat Jakarta). Jemaat ini melayani dengan 3 (tiga) bahasa: Belanda di dalam benteng (Fatahilah-Kota sekarang) dan Portugis dan Melayu di luar benteng (GPIB Sion sekarang). Dari Jakarta pelayanan (=perawatan rohani) menyebar ke Jatinegara (Cornelis Senen 1660), Makassar (1670), Tugu (1676), Padang (1683), Surabaya (1708), Depok (Chastelein 1714) dan Semarang (1753). Jemaat-jemaat ini kini tetap melayani dalam lingkungan GPIB.
Setelah pemerintah Belanda secara resmi menjadikan Nusantara sebagai daerah jajahan (1 Januari 1800) maka jemaat-jemaat protestan di satukan dalam Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dengan keputusan Raja Willem I, 4 September 1815. Untuk itu didirikan gedung Willems Kerk 24 Agustus 1839 dan dibentuk Majelis Gereja (Kerkbestuur) 1840 (baru aktif 1854). Bermunculanlah jemaat-jemaat baru seperti Serang, Sukabumi, Solo, Bandung. Malang, Yogya, Ambarawa, Kediri dsb.
b. GPIB terbentuk melalui Proto Sinode tanggal 25-31 Oktober 1948 di Jakarta setelah GMIM, GPM dan GMIT (masing-masung berdiri 1934, 1935 dan 1947). Warisan-warisam GPI ysng menjadi masalah teologis adalah :
(1) Pengakuan GPI baru dirumuskan setelah gereja ini berdiri kurang lebih satu abad,yaitu pada tahun 1936 dengan mengambilalih rumusan dari gerakan oikumene Faith and Order yang mengadopsi dari YMCA tahun 1844. Pengakuan tersebut berdasarkan I Korintus 3:11. Dengan kata lain pengakuan ini bersifat oikoumenis tanpa memperhatikan pergumulan konteks dengan maksud untuk mempersatukan semua aliran protestan dalam GPI. Pengakuan ini tidak dijabarkan dalam bentuk ajaran sebagai pegangan warga.
(2) Model bergereja didasarkan pada keputusan Raja yang mengatur organisasi gereja seperti tata pemerintahan negara. Upaya untuk menerapkan sistem presbiterial tidak berhasil karena tidak ada pengkajian teologis mengenai eklesiologi GPI. Tatagereja GPI 1948 dan 1951 berusaha menerapkan sistem presbiterial tetapi tidak mampu mengubah sifat birokrasi dan jenjang-jenjang jabatan yang ada (Ds-Predikant-Hulppredikant-Inlandsleeraar-Penatua-Syamas/Diaken). Para pelayan (kecuali Penatua dan Syamas) adalah pegawai negeri.
(3) Misi dan tugas gereja adalah memelihara rohani warga dengan penegakkan disiplin yang ketat. Tidak ada penjelasan tentang pekabaran Injil seperti yang dilakukan badan-badan Zending saat itu. Ibadah-ibadah dilaksanakan dengan pola gereja Hervormd Belanda yang meneruskan tradisi Calvinis dengan nyanyian Mazmur dan Pietisme dengan Tahlil dan Dua Sahabat Lama.
(4) Setelah melembagakan gereja-gereja baru, GPI bergumul tentang keberadaannya sebagai gereja.Memilih antara menjadi wadah keesaan bagi gereja-gereja di Indonesia (karena itu sejak 1936 sidang-sidang GPI mengundang HKBP, GKJW, GKP, GDE) ataukah menjadi gereja yang melayani jemat-jemaat di luar wilayah GMIM, GPM dan GMIT. Pergumulan ini terjawab ketika Sidang Gereja AM III 1948 mendiskusikan eklesiologi GPI dengan membuat pilihan antara keesaan : anggur, mangga dan jeruk. Pilihan jatuh pada keesaan jeruk. Maka GPI tetap menjadi gereja dengan gereja-gereja bagiannya yang berdiri sendiri. Diskusi ini berlanjut dalam pembentukan DGI 1950, di mana DGI bertujuan membentuk Gereja yang Esa di Indonesia.
Tugas pertama yang langsung dihadapi GPIB adalah melepaskan diri dari warisan-warisan dari GPI, antara lain dengan :
(a). Melepaskan diri dari kepentingan GPI yang ingin mengasuh GPIB baik kepemimpinan , harta milik maupun kegiatan-kegiatan ekumenis.
(b). Menghidupkan kembali Jemaat-jemaat yang memang tak terurus, a.l. 10 tahun selama Perang Dunia dan masa revolusi.
(c). Mempersiapkan tenaga-tenaga pelayan yang memimpin dan melayani Jemaat-jemaat yang memang tidak menyatu dengan pergumulan dan harapan masuyarakat.
(d). Mengatasi kesulitan keuangan dan menggalang kesadaran memberi yang merupakan hal yang baru bagi Jemaat-jemaat bekas asuhan GPI yang sangat bergantung pada pemerintah Belanda.
c. Sebagai gereja,GPIB segera mengadakan konsolidasi (1948 – 1970). Kemudian mulai bergerak keluar memasuki pergumulan dan harapan masyarakat dengan membangun kehidupan bersama. Periode ini disebut Masa Pembangunan (1970 – 1982). Lalu dengan upaya pembangunan tersebut GPIB menempatkan diri sebagai Gereja yang mandiri (1982 hingga sekarang).
c.1. Dalam masa konsolidasi, dilakukan penataan pelayanan untuk mengatasi dualisme dalam Jemaat-jemaat yang berbahasa Indonesia dan Belanda. Juga badan-badan pelayanan (Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja, Gerakan Pemuda dan Persatuan Wanita) yang sebelumnya berdiri di luar organisasi GPIB, dirangkul dan diintegrasikan tahun 1966 dalam pelayanan GPIB. Badan-badan ini diandalkan untuk mobilisasi warga.
Untuk itu konsep Jemaat Misioner diterjemahkan dalam berbagai langkah nyata yang mengarahkan warga untuk tidak hanya hidup untuk diri sendiri tetapi untuk sesama dan masyarakat sekitar. Wadah-wadah pelayanan tersebut menjadi tempat di mana warga Gereja dan masyarakat bergumul mewujudkan masa depan bersama. Penggalangan potensi warga dimulai dengan konsultasi para bendahara Jemaat pada tahun 1960 dan menetapkan iuran per anggota Jemaat. Misi gereja juga dilaksanakan melalui pekabaran Injil yang dimulai pertengahan tahun 1960 an di Bogor, Riau, Lampung, Kalimantan Barat dan Timur, Sumatera Selatan dan Barat, dan Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanakan dalam kerjasama dengan III Batu, Malang sekitar tahun 1964. Majelis Sinode langsung melaksanakan koordinasi pelaksanaan pekabaran Injil tsb.
Di masa konsolidasi ini 2 (dua) Tata Gereja di susun untuk menjadikan GPIB sebagai Gereja yang teratur dan melayani untuk mewujudkan Missio Dei. Tata Gereja 1948 dan Tata Gereja 1962/1964 ditetapkan sebagai gagasan-gagasan/ ide-ide dasar teologis untuk penyusunan perangkat-perangkat bagi pelayanan GPIB. Eklesiologi GPIB terus dikembangkan antara lain dengan menetapkan wujud dan bentuk GPIB sebagai Tubuh Kristus dengan pengakuan yang didasarkan pada I Korintus 3:11. Dengan demikian perumusan bahwa GPIB terbentuk dalam rangka GPI ditiadakan. Walau tidak disebutkan secara tegas, tetapi pengaturan pelayanan dilakukan dengan sistem presbiterial varian GPIB (klasis dihapus tahun 1964 dan diganti dengan Konven). Selanjutnya misi gereja dirumuskan sebagai partisipasi dalam pelayanan YESUS KRISTUS dan peranan warga dalam pelayanan (= imamat am) dimunculkan sebagai sesuatu yang baru dalam teologi GPIB.
c.2. Dalam masa Pembangunan, GPIB melakukan kegiatan Pembinaan Warga Gereja dan para pelayan secara intensif melalui Lembaga Pembinaan Jemaat. Juga pendidikan formal diupayakan melalui sekolah-sekolah yang dikoordinir oleh Bakordik (kemudian dirubah menjadi Yayasan Petra dan tahun 1981 menjadi Yapendik). Begitu juga pelayanan masyarakat kota dan desa diperkenalkan sebagai bentuk baru dari pekabaran Injil yang kemudian dikemas melalui Program Adopsi. Jemaat-jemaat GPIB yang mampu secara material dan program membantu Jemaat-jemaat di wilayah PI. Mobilisasi tenaga-tenaga. Batu ditingkatkan sebagai penginjil dan pendeta yang diformalkan dalam kerjasama dengan GPIB.
Didorong oleh kesadaran untuk membangun kesejahteraan masyarakat (sejalan dengan program pemerintah sejak tahun 1967), GPIB mencanangkan pembangunan material yang dimulai dengan pemanfaatan harta-harta yang tidak bergerak warisan dari GPI dan didukung dokumen-dokumen negara. Untuk menunjang kegiatan-kegiatan dalam masa ini Tata Gereja baru disusun 1972 dan direlevansikan tahun 1978. Pemetaan pelayanan dilakukan sekaligus dengan penyusunan GBKUPG (Garis-garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan Gereja), perumusan awal Pengakuan Iman dan pengembangan Tata-Tata Ibadah GPIB. Partisipasi Gereja dalam masyarakat mewarnai pelayanan Gereja.
Pemantapan pelayanan BPK tahun 1973 sebagai bidang Pelayanan Kategorial (sebelumnya khusus) untuk membina warga dalam pelaksanaan tugas dan panggilan Gereja. Sekitar tahun 1974 PKB diperkenalkan di Jemaat-jemaat disamping itu pembinaan Penatua dan Diaken melalui LPJ dan pendeta-pendeta melalui KDPP (1976, 1977) dilaksanakan. Pembangunan dan pengembangan Tata Ibadah dan Nyanyian Gereja diupayakan melalui komisi yang menghasilkan Tata Ibadah (leksionari) dan nyanyian-nyanyian yang diperkenalkan melalui Festival Paduan Suara dan Vocal Group. Terbitlah buku-buku seperti: Pujilah TUHAN, Sekarang Bersyukur dan Kidung Jemaat (yang kemudian dikekola Yamuger).
Riak-riak pelayanan di daerah-daerah PI dan kota-kota muncul merata di GPIB, karena perjanjian kerjasama dengan Batu telah mengalami penyimpangan-penyimpangan. Maka tahun 1980 dalam konsultasi Sinodal di Ujung Pandang dilakukan pemutusan hubungan kerja dengan Batu dan diperkenalkan istilah Pelkes untuk mengganti istilah Pekabaran Injil. Eklesiologi GPIB menemukan kemandiriannya melalui Tatagereja 1982 yang menjadi alat untuk menata pelayanan secara komprehensif dengan Sistem Presbiterial varian GPIB. Jemaat-jemaat sebagai gereja yang lengkap menjadi pusat kegiatan pelayanan, secara berkala (4 tahun) berkumpul dalam kebersamaan (Persidangan Sinode) yang mengambil kebijakan pelayanan, kebersamaan mana diwakili secara tetap oleh Majelis Sinode. Keseimbangan antara kedaulatan Jemaat-jemaat dan kebersamaan secara sinodal dikemas melalui Tata Dasar, Peraturan-peraturan Pokok dan Peraturan-peraturan.
Pembangunan material diupayakan melalui Persembahan Tetap Bulanan (PTB), infentarisasi dan pemanfaatan harta milik GPIB dan proyek-proyek pembangunan masyarakat di Kalimantan, Lampung dan Riau, yang juga diilhami oleh kegiatan DGI dengan Development Centernya.
c.3. Dalam masa kemandirian, GPIB memantapkan diri dengan visi yang jelas mengenai hakekat dan pelayanan Gereja. GPIB menjalani proses kedewasaan, percaya diri dan peka terhadap tanda-tanda jaman serta kemampuan untuk bekerjasama. Masa ini menuntut perubahan dan pembaruan perangkat-perangkat pelayanan. Kemampuan membaca tanda-tanda zaman ditingkatkan melalui studi dan perumusan tema-tema pelayanan 20 tahunan yang diuraikan sampai pada pelaksanaan program pelayanan (PKUPPG dan perangkat-perangkatnya). Identitas diri sebagai Gereja Reformasi mengalami pengkajian dan perumusan dengan perangkat-perangkat teologi dan materi pembinaan berbagai kategori pelayanan. Oleh kebutuhan pelayanan dan pembinaan warga, dirumuskan pendirian gereja dengan berbagai pokok yang relevan dan menantang. Begitu pula dilanjutkan pengembangan Tata Ibadah dan Nyanyian Gereja untuk memperkaya Spiritualitas Gereja (Gita Bakti, KMM, KC).
Tata Gereja 1982 disusun, diikuti dengan perumusan Pemahaman Iman sebagai ajaran GPIB, dan penyusunan Akta-akta Gereja untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi intern maupun ekstern. Selain itu pengadaan dan peningkatan proyek-proyek Pelkes menjadi bentuk pelayanan Gereja yang lebih menyentuh persoalan dan kebutuhan masyarakat antara lain pelaksanaan bulan PELKES, dan Pendidikan/pelatihan tenaga-tenaga PELKES secara berkala dalam rangka Community Development dan lingkungan hidup.
Kebutuhan untuk membarui Tatagereja 1982 dalam rangka memberikan jalan bagi warga untuk melaksanakan pelayanan (bersama para pelayan) dilakukan melalui Persidangan-persidangan Sinode. Pembaruan ini mengalami jalan berliku yang panjang sejak tahun 1986, terutama tarik menarik (bahkan ketegangan) untuk menjaga keseimbangan antara kedaulatan Jemaat di satu pihak dan kepentingan Sinodal serta wilayah-wilayah di lain pihak. Proses ini mengalami kematangan di Persidangan Sinode XIX 2010 yang memberlakukan Tatagereja yang baru dengan segala kelengkapannya.
Pada masa Kemandirian ini, pembinaan pendeta (KDPP) dilanjutkan dan materi-materi bina dipersiapkan untuk para pelayan Majelis Jemaat serta Pelayanan Kategorial, walau pelaksanaannya perlu dievaluasi terus menerus khususnya bidang Kategorial (yang cenderung melemah). Melemahnya Bidang Kategorial merupakan pertanda bahwa kemandirian gereja ini sedang diuji.
Selanjutnya pengelolaan harta milik dilanjutkan atas Keputusan Persidangan Sinode 1990, tetapi telah menimbulkan gejolak dalam tubuh GPIB antara tahun 1992 – 2000. Sejarah mencatat bahwa gejolak ini dengan bijak diatasi dan Persidangan Sinode 2000 telah berhasil menciptakan rekonsiliasi dalam tubuh GPIB. Ketetapan persidangan tersebut bahwa pengelolaan harta milik harus diputuskan dalam Persidangan Sinode, baru dilaksanakan merupakan pembelajaran yang penting dari wujud Kemandirian Gereja.
2. GPIB BERTEOLOGI
Perjalanan GPIB melewati masa konsolidasi dan pembangunan lalu menjalani masa kemandirian mengetengahkan beberapa pokok pemikiran teologis eklesiologis untuk dikaji lebih lanjut.
a. Pengakuan dan ajaran
Pengakuan yang semula bertumpu pada I Korintus 3:11 telah beralih ke ciri Reformasi yang disusun dalam Pembukaan Tata Dasar dengan mengangkat moto GPIB: Lukas 13:29 dan Jiwa Pemahaman Iman GPIB. Seluruh ajaran disusun berdasar Pemahaman Iman GPIB yang diterapkan dalam konteks dan kebutuhan GPIB untuk melayani masyarakat dan bangsa Indonesia.
b. Model Bergereja
GPIB menjalani satu proses yang menarik dalam menggumuli dirinya sebagai Gereja. Walau belum ada dokumen teologis yang mencatat pergumulan eklesiologi melalui seminar-seminar dan konsultasi tetapi Tata-tata Gereja yang disusunnya sejak 1948 mengalami perkembangan yang mengesankan. Gereja ini keluar dari keterikatan primordial dengan GPI dan menjadi gereja yang mandiri untuk berinteraksi dengan gereja-gereja lain (termasuk dengan GPI) secara dewasa dan bertanggungjawab. Walau demikian, sejarah mencatat bahwa model-model gereja yang tergambar dalam PB belum diolah secara teologis-akademis.
c. Kepejabatan
Kesan yang kuat muncul bahwa Perkembangan Kepejabatan dalam GPIB stabil meneruskan tradisi GPI dengan sedikit perubahan. Tetapi “Gerakan Imamat Am” melalui Pelayanan Kategorial telah “menggelitik” para pendeta, penatua dan diaken untuk meninjau kembali terus menerus masalah kepejabatan. Disamping itu Visi dan Misi GPIB membuat Gereja ini tidak perlu menjadi Gereja pejabat atau hanya meneruskan tradisi Calvinis tentang kepejabatan.
d. Misi dan Tugas Gereja
Misi dan Tugas Gereja telah dirumuskan dalam tahap “ALLAH – Gereja – dunia”. Walau belum berani merubahnya menjadi “ALLAH – dunia – Gereja”, tetapi gereja ini telah membarui dirinya dan keluar dari tradisi GPI yang hanya “memelihara dan merawat kerohanian” warga. Tantangan dan harapan masyarakat pada waktunya menjadi batu penjuru untuk merumuskan Misi dan Tugas Gereja sesuai yang dikehendaki ALLAH.
e. Peran Warga Gereja
Peran Warga Gereja sepanjang perjalanan gpib SELAMA INI TELAH DIWAKILI OLEH Bidang Pelayanan Khusus /Kategorial dengan pelayanan dan pembinaan yang terorganisir. Walau terkesan eksklusif dan terkotak-kotak dalam Jemaat; dan 15 tahun terakhir melemah, tetapi kehadiran pelayanan Kategorial ini telah membuat gereja konsisten dengan misi dan tugasnya ke dalam.
f. Liturgi dan Nyanyian Gereja
Liturgi dan Nyanyian Gereja terus menerus dikembangkan di tengah hingar-bingarnya ibadah-ibadah intertainment, untuk mempertahankan tradisi reformatoris – Belanda. Walau ada kecenderungan untuk hanya memberikan peran kepada para pejabat dalam liturgi, tetapi evaluasi yang baik akan membuka peranan warga dan lingkungan hidup (bahkan dunia) dalam ibadah-ibadah yang tetutup di gereja-gereja. Dicatat bahwa nyanyian Gereja telah diupayakan untuk dikembangkan secara kontekstual.
g. Keuangan dan Persembahan
Sejarah mencatat bahwa keuangan Jemaat-jemaat GPIB berkembang, berbuah dan berbunga dengan signifikan, walau Majelis Sinode cukup prihatin dan merana dengan keuangannya. Kesadaran memberi semakin meningkat walau pembinaan secara teologis tidak merata. Terkhair “perpuluhan” yang diterapkan oleh Persidangan Sionde 2010 belum dapat dievaluasi karena itu perlu dipahami secara teologis terutama dari sudut teologi Calvinis.
3. MENYONGSONG MASA DEPAN
Dalam mengembangkan diri ke depan GPIB perlu diperhatikan hal-hal berikut untuk berani berteologi dalam konteks.
Beberapa tema kontekstual dewasa ini :
a. Keindonesiaan
Politik identitas
Politik agama
Interpretasi dan reinterpretasi Sejarah
Mencari “teologi” bersama
Otonomi daerah dan perdanisasi
Hubungan gereja dan negara
b. Agama dan Budaya
Agama-agama suku dan kepercayaan lokal
Agama, pasar dan konvesi
Akultisme
Teologi Agama-agama
c. Lingkungan Hidup
Kwalitas kehidupan
Warisan-warisan teologi
Bencana-bencana
d. Kemiskinan
Filosofi dan pemahaman
Standar hudip layak
Penyakit-penyakit (HIV/AIDS dsb)
Pendidikan
e. Ketidakadilan
Hukum
Gender / Trans gender
Korupsi
Jakarta, 3 April 2012.
Pdt. H. Ongirwalu, M.Th.