(Refleksi teologis singkat tentang sikap iman gereja dan politik di Indonesia)
Oleh. Pdt. Handi Hadiwitanto
Rupanya sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, setiap kali memasuki
masa-masa pemilu, maka anggota jemaat mulai sibuk bertanya tentang
hubungan Iman dan Politik, atau bertanya apakah orang Kristen boleh,
atau perlu berpolitik. Hal ini menjadi klasik, karena seolah-olah
politik adalah persoalan pemilu saja. Dan hal yang paling nyata dari
pernyataan maupun pertanyaan ini adalah, politik selalu dikaitkan dengan
hal perebutan kekuasaan. Karena itu sterotype-nya adalah politik itu
kotor, jahat, tidak ada kawan sejati dan sebagainya. Pertanyaan kita
adalah sudah benarkah pengertian politik yang seperti itu? Pertanyaan
ini harus dijawab lebih dahulu sebelum kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teologis - teknis, seperti bagaimana
kata Alkitab, bolehkah orang Kristen berpolitk, bagaimana cara dan
bentuknya, bagaimana sikap kita menghadapi pemilu?
Eka Darmaputera pernah menulis kalimat yang menarik mengenai
"politik" ini: "hubungan antar agama di negeri kita sekarang ini tanpa
sadar mendesak agama-agama untuk menjadi ‘agama politik’, yang bersibuk
dan berdaya upaya senantiasa untuk meraih kuasa... Kita membutuhkan
‘politik agama’ yang jelas dan bijaksana, memberikan kerangka agar
agama-agama di samping misinya yang asli, juga menjadi pembantu dan
bukan pengganggu bagi usaha-usaha pembangungan bangsa." (Sinaga dkk.
2001 : 228)
Berangkat dari kutipan Darmaputera di atas saya ingin mengajak
kita untuk masuk dalam wacana singkat mengenai kata "politik". Politik
dalam penggunaannya sehari-hari sebenarnya belum dimengerti secara
lengkap oleh kita semua. Kalau kita memperhatikan statement dari
politik, tetapi politik itu sendiri lebih besar dari sekedar kekuasaan.
Politik dalam arti yang paling mendasar adalah soal pengaturan
kesejahteraan masyarakat (dalam sebuah polis/kota; saat ini:
negara/wilayah). Dengan mengacu pada pandangan Metz dan Moltmann - para
teolog yang menelurkan gagasan mengenai teologi politik di Jerman -
Assmann mengatakan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan masyarakat dan bukan hanya hubungan formal dengan negara (Assmann
1975 : 30)
Dengan pengertian politik yang luas seperti ini, maka kita diajak
untuk menjadi sadar bahwa setiap masyarakat yang berkumpul dalam satu
tempat seperti kota atau negara, amat memerlukan kebijakan politik. Dan
setiap tindakan yang berhubungan serta berdampak pada kesejahteraan
orang banyak disebut sebagai tindakan politis. Konsekuensi yang
berkaitan dengan gereja berdasarkan pandangan ini amat besar. Sebagai
contoh saja, ketika gereja memikirkan kesejahteraan masyarakat miskin,
dan mengadakan pelayanan pengobatan kepada mereka secara murah maka
itupun sudah menjadi sebuah kegiatan politis dari gereja. Hal inlah
yang dimaksudkan oleh Darmaputera sebagai tindakan politik agama atau
politik gereja. Berbeda sekali dengan konsep agama atau gereja politis
yang hendak mencari keuntungan dan kekuasaan bagi diri sendiri. Karena
itu semakin gereja itu hidup merakyat dalam pelayanan kontekstualnya,
atau gereja itu terlibat aktif dalam pergumulan sejarah masyarakat di
mana gereja itu melayani, maka gereja itu pun sudah berpolitik. Karena
itu bagi Pieris yang amat menaruh perhatian pada konsep berteologi dalam
konteks masyarakat Asia, agama-agama termasuk gereja di Asia hampir
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat (hubungan agama/iman - adat -
masyarakat), dan dengan demikian maka semua gereja-gereja di Asia pada
dasarnya adalah gereja yang berpolitik, atau biasa disebut sebagai
ber-teologi politik (Pieris 1996 : 78 dst).
Sampai di sini maka apa yang dikatakan oleh Darmaputera di atas
menjadi semakin jelas. Bila gereja sebagai sebuah institusi menjadi
gereja politi, yaitu gereja yang sibuk mengejar kekuasaan atau
keuntungan diri sendiri, maka gereja tidak memberikan kontribusi apa pun
bahkan mungkin sudah menjadi pengganggu bagi kehidupan bersama. Sikap
inilah yang harus kita lawan sebagai gereja. Berkaitan dengan hal di
atas, selama ini banyak warga gereja selalu berpikir bahwa mereka tidak
berpolitik, apalagi untuk mengejar keuntungan bagi dirinya. Tetapi
pandangan ini harus sudah dikoreksi. Ada banyak contoh mengenai sikap
politik gereja (formal maupun tidak) yang menunjukkan bahwa gereja
mengejar kekuasaan atau kepentingan dirinya. Sebagai contoh seperti
yang ditulis oleh Singgih: langsung atau tidak gereja menekankan
pentingnya unsur Kristen masuk dalam struktur pemerintahan; mengambil
sikap sebagai ‘anak manis’ dan menyandarkan diri pada perlindungan
penguasa; memperjuangkan kepentingan sendiri dengan membangun jembatan
dengan pemerintah/ penguasa dan golongan elit tertentu (Singgih 2000 :
26-35). Jelas sikap seperti ini tidak hanya dilakukan pada saat
momentum pemilu, tetapi hampir di seluruh perjalanan hidup politik
gereja di Indonesia (lihat Sirait 2001 : 181 dst). Kita dapat mengerti
bahwa keadaan seperti ini didorong oleh situasi dan kondisi bernegara -
berbangsa - beragama di Indonesia yang memang tidak ideal. Diskriminasi
dan ketidakadilan terjadi di mana-mana di berbagai wilayah masyarakat
termasuk wilayah hubungan agama-agama, yang menghasilkan sikap iman dan
politik gereja yang tidak ideal pula (lih. Hadiwitanto 2002).
Karena itu sebagai gereja kita perlu mengubah konsep berpolitik
ke arah yang lebih benar dan luas. Bukan gereja politik untuk mengejar
kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik gereja yang menghasilkan
teologi politik yang ideal, yaitu refleksi-refleksi dan tindakan iman di
dalam serta demi kepentingan kehidupan masyarakat banyak. Di sini
teologi politik gereja menghadirkan gereja sebagai institusi kritis dan
agen pembaruan di tengah berbagai kebijakan publik. Dengan demikian
maka gereja menjadi sumber pengharapan bagi konteks masyarakat yang ada.
Di sini secara tegas kita harus mengatakan bahwa gereja memang
berpolitik, bukan untuk kekuasaan sempit, bukan hanya pada saat ada
pemilu, tetapi untuk kesejahteraan dan kemanusiaan manusia.
Bagian Kedua
Berbicara mengenai teologi politik dan kesejahteraan manusia
membuat kita perlu untuk kembali membangun refleksi teologis dari
dasarnya, yaitu Yesus Kristus (1 Kor 3: 11). Pemahaman yang utuh
mengenai hidup penderitaan, penghinaan dan penyaliban akan membawa kita
pada pesan kemanusiaan dan sikap politis Yesus yang menjadi teladan bagi
gereja modern. Tentu untuk itu diperlukan pemeriksaan pada banyak teks
terkait, yang tiak dapat dilakukakan semua dalam tulisan ini. Di bawah
saya hendak mengajak kita semua untuk memeriksa satu teks terkenal
dalam Matius 22:15-22. Teks ini sangat sering dijadikan dasar
pengertian tentang hubungan gereja dan negara karena setting cerita yang
amat khas. Karena itu selain kita dapat melihat situasi politis yang
terjadi pada masa Yesus, dalam terang keseluruhan pesan Injil kita juga
dapat membangun pemahaman mengenai politik gereja yang semestinya.
Dalam teks Matius 22:15-22 Yesus diperhadapkan pada pertanyaan
yang apapun jawabannya mempunyai konsekuensi politis, yaitu "apakah
diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak?" Pada masa itu
masyarakat Yahudi Palestina masih diberikan kebebasan untuk bergerak
dalam tradisi keagamaannya (bahkan daerah Galilea merupakan pemerintahan
khusus yang dipimpin oleh raja keturunan Herodes), tetapi penyangkalan
pada kekuasaan Romawi merupakan tindakan makar yang dapat menjadi
persoalan serius. Di sisi lain harapan orang Yahudi pada saat itu juga
bermacam-macam melakukan tindakan makar dengan menolak pembayaran pajak
serta membangun gerakan-gerakan di bawah tanah. Golongan Farisi amat
yakin pada kebebasan mereka dari Romawi, tetapi mereka tidak melakukan
perlawanan terang-terangan. Baik Zelot maupun Farisi sama-sama
menantikan kehadiran Sang Mesian yang akan membebaskan mereka dari
Romawi. Sedangkan golongan Herodes Agung akan berkuasa memerintah
palestina. Karena itu kembali pada pertanyaan di atas, jika Yesus
menjawab, ya, maka Yesus akan mengecewakan orang banyak yang berpikir
bahwa Yesus adalah Mesias dan orang-orang Farisi dan Zelot akan punya
alasan untuk mengenyahkan Yesus. Sebaliknya jika Yesus menjawab, tidak,
maka Yesus melakukan tindakan makar dan dapat diperhadapkan pada
pemerintahan Romawi (lih. De Heer 1994 : 433-434).
Pertanyaan yang bermaksud menjebak Yesus ini pada akhirnya
menjadipertanyaan yang akan mengungkapkan bagaimana Yesus memahami
politik pada saat itu. Jawaban Yesus dalam ay. 19-21 memperlihatkan dua
hal penting.
Pertama, Yesus bersikap adil pada pemerintahan yang berkuasa pada
saat itu. Kalimat "berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu
berikan kepada kaisar.." Berhubungan erat dengan tulisan yang ada pada
uang Romawi, yang memberitahukan bahwa uang tersebut milik pemerintah
Romawi. Tetapi selain itu juga Yesus ingin mengatakan secara umum bahwa
jika mereka sebagai masyarakat pada saat itu memang diatur oleh
kebijakan Romawi dan itu semua memang berjalan dengan baik, mengapa
tidak! Yesus di sini tidak terjebak dalam politik kekuasaan yang
dimaksudkan oleh orang-orang Farisi. Dengan kata lain Yesus sedang
mengatakan bahwa kehadiranNya tidak berurusan dengan politik kekuasaan
yang sempit.
Kedua, Yesus mengatakan lebih lanjut dalam ay. 21, "berikanlah...
Kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Pernyataan ini
segera menyadarkan kita bahwa Yesus memperlihatkan sikap politik yang
tidak menjadikan kaisar atau pemerintahan dunia sebagai perwujudan yang
ilahi (politik ontokrasi), sehingga menghadirkan kekuasaan absolut
murni. Yesus tetap mengingatkan bahwa ada Allah yang harus dihormati
oleh masyarakat maupun kaisar/pemerintah (politik teokrasi).
Ketika Yesus berbicara mengenai kekuasaan Allah, maka kita bukan
sedang berbicara mengenai sistem politik kekuasaan suatu negara
tertentu. Melainkan seluruh pikiran dan kehendak Allah yang dicerminkan
melalui pelayanan Yesus di tengah manusia. Injil Matius sebenarnya
memberikan penjelasan yang amat sistematis mengenai hubungan manusia
dengan Allah dan sesamanya (bdk. Matius 5-7; 20:20-28; 23:1-36;
25:31-46). Pada intinya Yesus ingin mengatakan bahwa kehadiran dan
pandanganNya mengikuti kehendak Allah, di mana umat manusia terutama
yang lemah dan tersingkir mendapatkan kembali martabat kemanusiaannya.
Kerajaan Surga yang diberitakan oleh Yesus berbicara mengenai pelayanan
satu manusia kepada manusia lain tanpa batas (Mat 20:26). Itulah yang
sering disebut sebagai pelayanan yang memanusiakan manusia. Berbagai
contoh pelayanan hidup Yesus dapat kita sebutka, seperti penerimaan pada
orang berdosa, pertolongan pada yang sakit, pengampunan, pembelaan pada
yang dilecehkan secara sosial dsb. Seluruh penderitaan, penolakan dan
salib pada Yesus harus kita lihat bukan sebagai bentuk dari kepasrahan
pada kuasa penindasan (ada beberapa kalangan yang melihat kisah
penderitaan Yesus sebagai pengesahan pada sistem pemerintahan yang tidak
adil pada saat ini dan penerimaan gereja sebagai pengikut Kristus;
Singgih 2000:5). Kita harus melihat keseluruhan hidup Yesus di dalam
terang penolakan, penderitaan, salib dan kebangkitanNya sebagai bentuk
kesetiaan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dari penindasan
politik, agama, dan sosial. Dalam kesetiaan pada Allah maka Yesus
membangun sikap dan teologi politik yang amat jelas, yaitu teologi
kerajaan Surga. Dari sinilah kita dapat memahami paradigma penebusan
dan penyelamatan secara utuh di tengah-tengah politik masyarakat yang
tidak utuh.
Berdasarkan refleksi atas Matius 22:15-22, saya rasa kita dapat
membuat catatan kritis pada kesalahpahaman yang sering terjadi pada saat
gereja melihat teks Roma 13:1-7. Dalam sejarah Protestan di Indonesia
Roma 13 ini dijadikan dukungan pada pemerintah kolonial dan kemudian
berlanjut pada yang berkuasa saat ini. Kenyataan ini didukung oleh
sikap syndrom minority complex di mana gereja sebagai minoritas selalu
memandang curiga pada kelompok masyarakat mayoritas yang bukan Kristen.
Kecurigaan itu disahkan oleh kenyataan sosial yang diskriminatif
terhadap kelompok minoritas. Tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa
kelompok minoritas membangun sikap meng-generalisasi semua kelompok dan
lebih senang mencari perlindungan pada kekuatan pemerintah atau elit
tertentu ketimbang membangun persahabatan yang tulus dengan sesama
masyarakat (Singgih 2000:13-20). Kondisi seperti ini mempunyai resiko
yang amat kuat, yaitu hilangnya kekritisan kepekaan gereja pada
pemerintah serta konteks politiknya. Sudah lama gereja berpikir yang
penting gereja tidak dibakar dan tidak mendapat tekanan maka kita
baik-baik saja. Pemberitaan melalui khotbah dan tulisan-tulisan yang
kritis, sekalipun benar, sedapat mungkin ditahan kalau mungkin
dihilangkan dari wacana formal gereja demi rasa aman dan “kepatuhan”
pada pemerintah yang berkuasa (saya pernah mengalami teguran pada saat
khotbah saya mengkritik kebijakan pemerintah pada tahun 1994). Hal
inilah yang dikatakan di bagian awal sebagai bentuk gereja yang
terjebak dalam politik untuk kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya
gereja kehilangan identitas diri sebagai komunitas umat Allah justru
pada saat proses dehumanisasi yang tidak sejalan dengan kehendak Allah
terjadi. Berhubungan dengan hal yang terakhir ini, Gutierrez seorang
tokoh teologi pembebasan Amerika Latin mengatakan bahwa kondisi seperti
ini membutuhkan pembebasan, bukan hanya dari tekanan luar seperti
masalah kelas sosial, negara atau masyarakat, tetapi juga pembebasan
dari tekanan dalam, seperti masalah psikologis dan identitas individual
(Gutierrez 1974 : 30).
Roma 13 sejalan dengan Matius 22 mengandaikan bahwa Allah
sungguh-sungguh menjadi titik berangkat dari perilaku pemerintah di
dunia (politik teokrasi). Rakyat dengan sendirinya harus membangun
kepatuhan pada saat kehendak Allah yang baik bagi kehidupan bersama
diwujudkan. Tetapi tentu rakyat juga harus menjadi amat kritis pada
saat Allah dan kehendakNya diabaikan oleh pemerintah yang lebih senang
membangun politik kekuasaan kotor, korup dan serakah.
Bagian ketiga
Pertanyaan teknis tentang, bolehkah orang Kristen berpolitik,
harus dijawab dengan tegas, boleh! Bahkan bolehkah gereja berpolitik,
jawabnya juga, ya! Tentu semuanya ada dalam payung refleksi iman di
atas. Gereja sebagai institusi keagamaan jelas tidak berpolitik dalam
pengertian menduduki kekuasaan atau berpihak pada salah satu kelompok
politik (partisan). Kita sebagai gereja reformasi mewarisi tradisi
mengenai pemisahan kekuasaan antara agama dan negara. Tetapi gereja
menjalankan tanggungjawab moril atas politik masyarakat. Di lain pihak
anggota gereja sebagai warga negara selain mempunyai tanggungjawab moril
yang luas, ia juga mempunyai hak dan tanggungjawab untuk berperan di
dalam politik, termasuk politik kekuasaan. Artinya sebagai individu dan
warga negara, seorang anggota gereja dapat menjalankan fungsi
individualnya. Tetapi tentu seluruh refleksi di atas tetap relevan,
keberadaan seorang anggota gereja di dalam pemerintahan bukan untuk
mengambil keuntungan bagi kehidupan gereja itu sendiri. Karena sebagai
anggota gereja maka warga negara itupun diharapkan dapat menjadi alat
kesaksian bagi politik masyarakat yang luas dan adil.
Politik gereja demi keuntungan diri sendiri mengembalikan kita
pada percakapan di atas mengenai agama/gereja politi. Kelihatannya di
Indonesia situasi ini masih terus kuat. Sebelum gonjang ganjil pemilu
1999 wacananya adalah “gereja tidak berpolitik pratis”. Statement ini
menjadi semacam excuse pada saat gereja enggan berbicara apapun mengenai
politik dan kondisi masyarakat umum. Sekarang wacana yang dikedepankan
adalah “kita dukung orang/partai Kristen”. Hal ini sebenarnya juga
adalah wacana lama yang pernah sangat kuat di tengah masyarakat Kristen
tertentu di Indonesia, yang mendambakan sosok individu Kristen di dalam
kabinet atau jajaran tentara dan pegawai negeri. Pada kenyataannya
harapan ideal ini selalu gagal, karena pertama, ada kelemahan sistem
sosial di mana dominasi kelompok mayoritas amat kuat; kedua, politik
kekuasaan dan kepentingan menghadirkan ketidaktulusan gereja dan orang
kristen.
Hal yang perlu kita bangun berdasarkan refleksi teologi politik di
Indonesia saat ini adalah :
1. Gereja dan seluruh anggotanya harus membangun kepekaan sosial
yang tingggi. Gereja yang berpolitik adalah gereja yang secara
sungguh-sungguh mengakar dalam penderitaan masyarakat. Situasi yang
selalu dibangun oleh Yesus, karena ia sungguh-sungguh berakar pada
konteksnya, yaitu di tengah penderitaan, dosa dan ketersisihan
manusia(bdk.kiss pembaptisan Yesus: Mat 3; 13-17), Konteks kita di
Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh
Alkitab. Hal yang paling terasa adalah kemiskinan dan korupsi. Kedua hal
ini sepertinya telah menjadi udara yang kita hirup setiap waktu.
Penting bagi kita bagaimana membangun sikap iman di tengah kondisi
seperti ini.
2. Gereja sebagai institusi keagamaan sudah seharusnya menjaga
jarak dengan institusi politik kekuasaan, dalam hal ini pemerintah.
Jarak inilah yang akan mendukung fungsi krisis gereja sebagai agama
maupun civil society. Dengan demikian juga kita menghindar dari sikap
yang menghalalkan pemerintah (godaan politik ontokrasi).
3. Setiap anggota gereja yang adalah juga warga negara mempunyai
hak untuk terjun secara praktis dalam politik kekuasaan. Hal tersebut
sudah seharusnya mendapat dukungan penggembalaan gereja. Tetapi
keberadaaan individu anggota gereja tidak pernah dijadikan alat apalagi
ditekan semata-mata untuk kepentingan kelompok agama atau gereja itu
sendiri. Saya meminjam istilah Arliyanus Larosa yang saya modifikasi
sedikit, “politik itu tidak beragama”. Karena ketika politk diagamakan,
maka masalah kesejahteraan masyarakat yang menjadi unsur utama politk
berubah menjadi kepentingan golongan. Kemanusiaan dikotak-kotakan dalam
perbedaaan dan kepentingan. Di sinilah agama dapat berubah menjadi
monster dan memberhalakan dirinya sendiri. Hal yang tidak pernah nampak
dalam sikap politis Yesus. Karena itu dalam surat gembala Sinode GKI
menjelang Pemilu 2004 mengatakan bahwa pemilu sebagai mekanisme politik
bukan menjadi ajang memilih “agama”.
4. Refleksi dan kesimpulan di atas menjadi bahan mempersiapkan
pemilu yang akan datang. Partai apa yang kita akan pilih atau individu
siapa yang menarik perhatian, semuanya harus di doakan dan
dipertimbangkan berdasarkan konsep teologi politik yang bukan untuk
kepentingan golongan tetapi secara sungguh-sungguh memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat luas. Karena itu saya menutup tulisan ini
dengan kesiapan dan seruan, “selamat berpolitik”!
Penulis adalah Pendeta Jemaat GKI Tasikmalaya